Titin Sutini Universitas Padjadjaran Indonesia Titin Sutini, lahir di Sumedang, 09 Juni 1977, mengawali pendidikan keperawatan di Akper Dr. Otten Bandung lulus tahun 1988, kemudian melanjutkan S-1 ke Program Studi Ilmu Keperawatan UNPAD atau sekarang dikenal dengan Fakultas Keperawatan UNPAD. Lulus S.Kep tahun 2001 dan Ners tahun 2002.
Melanjutkan magister keperawatan di Universitas Indonesia mengambil kekhususan keperawatan jiwa tahun 2007 – 2009. Menjadi pengajar di AKPER Pemda Sumedang dari tahun 2002 sampai 2012, pada tahun 2012 sampai sekarang menjadi tenaga pengajar di Fakultas Keperawatan UNPAD dan berada dibagaian keperawatan jiwa. Penulis buku ajar keperawatan jiwa dan advance mental health Nursing bersama bapa H. Iyus Yosep, S.Kp., M.Si., M.Sc. ABSTRAK Prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6%. Desa Ranjeng dan desa cilopang yang terletak di kecamatan Cisitu kabupaten Sumedang merupakan sebuah desa dengan kunjungan ke poli jiwa puskesmas cisitu sebanyak 654 orang, dengan keluhan gangguan tidur, sering mengeluh sakit kepala tampa sebab, stress ringan bahkan sampai gangguan jiwa berat, yang penanganannya belum bisa dilakukan secara optimal oleh puskesmas Cisitu, sehingga perlu ada pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa, yaitu melalui deteksi dini. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif serta analisa data dilakukan dengan mencari nilai rata-rata pada data pre-test dan post-test.
Tehnik sampel yang digunakan adalah total sampling, dengan jumlah sampel 59 untuk desa Ranjeng dan 51 untuk Desa Cilopang. Kuesioner yang digunakan adalah 10 item pertanyaan pilihan tunggal.Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan skor pengetahuan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Kenaikan pengetahuan masyarakat Desa Ranjeng total rata-rata (65), dan kenaikan pengetahuan masyarakat Desa Cilopang (64). Kegiatan ini belum dapat menjangkau sebagian besar dari masyarakat di ke dua desa oleh karena itu hendaknya kegiatan ini diteruskan dengan pembentukan kader kesehatan jiwa dan pelatihan kader kesehatan jiwa dengan melibatkan berbagai unsur pemerintahan dan masyarakat. Kata kunci: deteksi dini, kesehatan jiwa, Pemberdayaan.
Dec 8, 2009 - Comprehersip Text Book of Psychiatric/VI vol I.USA. Keperawatan jiwa. Refika Aditama. My Lecture: iyus yosep S.Kp.,M.Si. A.PENGERTIAN KEHILANGAN (LOSS) Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
ABSTRACT The prevalence of mental disorders such as depression and emotional anxiety in the community over the age of 15 years reached 11.6%. Ranjeng and cilopang village located in the district Cisitu Sumedang is a village with a visit to a mental health clinic poly Cisitu many as 654 people, with complaints of sleep disturbance, often complain of headaches without cause, even mild stress to severe mental disorder, that treatment can not be done optimally by Cisitu health centers, so there needs to be community empowerment in addressing mental health issues, namely through early detection. This activity aims to enhance the public's ability to make early detection as the initial discovery of the problem so as to reduce the incidence of mental disorders in the community and will create a healthy standby village life. Research methodology used was descriptive quantitative as well as data available for analysis done by searching the average value of the data on pre-test and post-test.Sample tehnik used was a total of sampling, namely sample collected is 59 for a village Ranjeng and 51 for a village Cilopang.The questionnaires used is 10 items question single choice.
The results of evaluation showed an increase in knowledge scores between before and after training. The increase public knowledge Ranjeng village average total ( 65 ), and an increase in public knowledge Cilopang village ( 64 ). This activity has not been able to reach most of the people in the two villages therefore this activity should be continued with the establishment of mental health workers and mental health workers training involving various members of the government and society. Keywords: Empowerment, early detection, mental health.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. CMHN.(2006).Modul intermedit course community mental health nursing.
Jakarta:WHO.FIK UI. Frisch, Noreen Cavan & Frisch, Lawrence E. Psychiatric Mental Health Nursing, Third Edition, Canada: Thomson Delmar Learning.
Iyus Yosep dan Titin Sutini (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health Nursing.
Jakarta: Refika Aditama. Sastroasmoro, Sudigdo (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, edisi ke-3. Jakarta: Sagun Seto. Stuart, Gail W. & Laraia, Michele T.
Principle and practice of psychiatric nursing (9th edition). Louis: Mosby, Inc. Tomey, Ann Marriner & Alligood, Martha Raile (2006). Nursing Theorists and Their Work, sixth edition. Louis Missouri: Mosby Elsivier. Buku saku psikiatri Edisi 6, Jakarta: EGC Utami.
Videbeck, Sheila L. Psychiatric Mental Health Nursing, Second Edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins DOI.
Oleh Iyus Yosep, S.Kp., M.Si. (dosen Keperawatan Jiwa FIK UNPAD) Patricia D. Barry (1998: 140), menyatakan: Agression: An emotion compounded of frustration and hate or rage. It is an emotion deeply rooted in every one of us, a vital part of our emotional being that must be either projected outward on the environment or inward, destructively, on the self. Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi seara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, ke dalam diri, atau secara destruktif.
Agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak, pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus-menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan napasnya. Faktor Predisposisi Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan: 1. Faktor Psikologis Psychoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression theory; Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif. Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut: Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan secara efektif. Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atatu seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga diri. Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atatu mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping. Faktor Sosial Budaya Social Learning Theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya.
Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut, seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima, sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif. Faktor Biologis Ada bebrapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkan tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori). Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepinefrin, asetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung: Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan Sering mengalami kegagalan Kehidupan yang penuh tindakan agresif Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat). Faktor Presipitasi Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal.
Contoh stresor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stresor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni: Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi sosial.